Rp 40.000
"Uang ibarat cermin yang tidak memiliki warna,
namun dapat merefleksikan semua warna"
Al-Ghazali (Ihya, 4:91-93)
Mungkin bagi seorang yang berduit,
Rp 40.000 bukanlah nilai yang begitu mahal. Namun bagi sebagian
orang tentu nilai itu sangat berharga.
Suatu sore di bulan Ramadhan, toko kami cukup dipadatkan oleh banyak
pembeli. Saat itu saya mendapat jatah untuk menjaga toko, dan ini adalah suatu
hal yang saya syukuri karena saya diberi jatah oleh Allah untuk menyaksikan
kejadian berikut ini.
Saat kondisi toko lumayan sepi, ada seorang ibu dan anaknya masuk untuk
memilih aneka kue kering yang akan dibeli. Awalnya sang ibu memilih stik bawang
ukuran ¼ kg dan twister untuk dibelinya.
Kemudian ia menawarkan kepada sang anak, untuk membeli satu makanan yang
disenanginya. Saya menunggu beberapa saat, dan melihat apa yang akan dipilih
anak tersebut. Selang beberapa menit anak laki-laki itu datang kemeja kasir dan
membawa setoples kue nastar.
Melihat wajahnya yang polos, dengan penuh harap ia mengatakan, “ Ibu adik milih yang ini ya? ”
“ Adik yakin mau pilih yang ini? ”,
tanya sang Ibu ragu, setelah ia melihat bahwa label kue tersebut Rp 40.000.
“ Yakin bu, kue ini sangat enak!
Dilihat dari bentuknya saja sudah tampak begitu lezat “ , katanya sambil
merajuk
“ Kue ini mahal lho, sayang kalau
nanti tidak adik habiskan ” kata Sang Ibu
“ Kebetulan ada tester untuk kue
nastar ini bu, silahkan untuk dicicipi, “ kataku sambil menyodorkan setoples tester kue
nastar yang ada di depan meja kasir.
Aku memandang anak itu. Ia tampak begitu girang, saat mencicipi nastar
isi nanas itu.
“ Coba bu, coba.. betapa rasa kue
ini begitu enak ” Kata anak itu, memandang ibunya dengan mata
berbinar-binar
Sang Ibu hanya diam.
Beberapa saat kemudian, Sang Ayah masuk ke toko.
“ Yah, adik ingin beli kue ini. Dia
suka, kuenya enak “ kata ibu itu sambil menyodorkan toples nastar berlabel
Rp 40.000 itu ke suaminya, seolah meminta pertimbangan.
“
Ya sudah, kita beli ini saja. Yang penting dia suka “ sahut suaminya
Singkat cerita, akhirnya sang Ibu mengembalikan semua barang yang
dipilihnya tadi ke rak semula, dan sang Ayah membayar kue nastar tersebut.
Saya di sini masih memandangnya.
Ya, anak kecil itu memegang erat kue pemerian orang tuanya. Dan ia nampak
begitu senang.
-.-.-
Mungkin kisah tadi merupakan salah satu potret nyata, betapa orang tua
yang baik tentu sangat meyayangi anaknya, dan memberikan yang terbaik bagi
kebahagiaan anaknya.
Terkadang hikmah tak harus diambil dari hal-hal besar karena adakalanya
hikmah dapat kita ambil dari hal-hal kecil, selagi hati kita masih terbuka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar